Dukkha,delusi pagi buta

(potret patung Buddha di kamar ,2009)

Pada suatu pagi buta saya terbangun, membaca pesan whatsapp seorang teman yang rajin menyebarkan quote-quote Buddhism. Saya sendiri mengagumi ajaran-ajaran Buddha yang sederhana dan menenangkan.


"Keinginan adalah sumber penderitaan"


Kalimat itu terlalu sederhana untuk ditafsirkan, atau mungkin terpotong dari teks aslinya, atau kalimat sesudahnya yang mengiringinya. Tapi begitulah sebuah kalimat kutipan bekerja, sebuah pesan singkat dan biarkan otak kita yang menafsirkannya. Sebuah 'quote' tak perlu konteks historis maupun tempat,karena dari siapa ia muncul, kita mampu mengetahui konteksnya. Sebuah kutipan tak perlu diperdebatkan.


"itu bukan quote Buddha" kata teman saya, " itu lirik lagu Iwan Fals.."


Beberapa hari kemudian, pada sebuah pagi buta yang mungkin sama,saya terbangun, dan seperti biasa, menyeduh kopi. Tiba-tiba saya teringat kutipan tersebut, atau lirik itu,entah. Kemudian saya mencoba mengajukan pertanyaan yang sangat sederhana, pada saya sendiri.

"Jika kita menghilangkan semua keinginan, apa yang tersisa?"

Penderitaan, atau Dukkha dalam agama Buddha, muncul karena kita menginginkan sesuatu yang bersifat sementara, yang hanya memunculkan 'samsara'/penderitaan. Dukkha, dalam bahasa kita kemudian muncul kata 'duka', yang bermakna kurang lebih sama, yang memiliki antonim 'Sukkha', kebahagiaan, makna yang lebih tepat mungkin 'ketenangan'. Namun Dukkha bisa lebih dalam lagi bila digali maknanya : ketidaksempurnaan, tanpa makna, kesengsaraan, kekosongan. Dukkha sendiri adalah bagian dari empat kebenaran,menurut Buddha : Dukkha, Samudhaya (hawa nafsu), Nirodha/nirvana (penghentian akan nafsu,pemurnian), dan Magga (delapan jalan menghentikan Dukkha).

By default, manusia hidup dalam 'dukkha', sebuah konsep yang mirip dengan konsep Kristen : kita dilahirkan dalam keadaan berdosa. Original sin/dosa asal, di saat Adam dan Hawa tidak menuruti perintah Tuhannya, kemudian pada akhirnya mereka hidup di dunia atas keinginan sendiri, dan tentu saja, dengan beban dosa. Dalam konsep Kristen, manusia menderita karena tidak mengenal Tuhan, sehingga pada suatu masa, Tuhan menampakkan dirinya dalam wujud manusia, untuk menunjukkan kebenaran, menyembuhkan kedukaan. Pendapat lain muncul kemudian dari agama 'adiknya', Islam, yang menyatakan setiap manusia terlahir tak berdosa. Tabula rasa. Namun semua laku akan sia-sia ketika tidak dilandasi akan kepatuhan kepada Tuhannya. Dengan kata lain, bila pada akhir hidupnya ia tidak mengimani Tuhannya,maka ia meninggal dalam keadaan kufur/mengingkari nikmat Tuhan. Kufur yang berarti mengingkari namun pada dasarnya ia mengetahui, maka pintu maaf ada pada orang-orang yang tidak mengetahui :)

(seorang bijak pernah berkata: jangan mencampurkan konsep agama satu sama lain. Runyam. Kita tinggalkan sejenak dua agama monotheisme itu.)

Filsafat Buddha tidak mengenal omnipotent ketuhanan. Semua laku berasal dari dalam diri kita tanpa campur tangan tuhan. Semua tanggung jawab kita. Nirwana (keadaaan bijaksana tertinggi) dicapai ketika kita masih hidup. Dengan menegasikan semua keinginan sementara, kita mampu mengalami fase nirwana. Mungkin ini musuh terbesar eksistensialisme,"human is condemned to be free" kata Sartre, kebebasan kadang mengutuk kita. Jika ditilik kembali, seorang yang memutuskan untuk menahan keinginan-keinginan duniawi tetaplah bisa disebut penganut eksistensialisme, karena ia berkehendak demikian. Bedanya, yang satu ingin membentuk dan menegembangkan eksistensi dirinya dalam lingkungan, sedangkan sang 'tanpa keinginan duniawi' ingin meleburkan dirinya, menjadi transeden. *Perihal eksistensialisme ini,mungkin baiknya saya tuliskan di lain topik.

Salah satu fenomena yang menarik buat saya adalah ketika Steve Jobs, sang penganut Buddha, memperkenalkan konsep i-phone, i-mac,i-pod. 'I' (saya) adalah sudut pandang atas pengakuan terhadap eksistensi individual, ketimbang 'it' (benda). Atau ketika Kenya Hara mengembangkan konsep anonim pada merk MUJI (Mujirushi: no-brand),  dan menegaskan bahwa terkadang sebuah merk mencuri identitas kita sendiri,menumbuhkan egoisme, dan berakhir pada dukkha :)

sebagai seorang yang bekerja di dunia desain, ketika mengetahui bahwa filsafat eksistesialisme bila digabungkan dengan laku-tapa transeden akan menghasilkan sebuah karya yang subtil dan substansial. 'pure', maka saya menyarankan semua desainer mendalami Buddhism.

....

"Jika kita menghilangkan semua keinginan, apa yang tersisa?"

tidak tahu, kadang saya berpikir itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan.


Madrid,2015



Komentar

Postingan Populer