Suatu malam, antara Siena dan Florence

Exhibition Human, Sculptures by Anthony Gormley at Forte Belvedere in Florence

(1)
Aku turun di stasiun yang salah, pukul setengah sepuluh malam, dan tak ada kereta lagi hingga esok hari, di sebuah stasiun kecil antah berantah, antara Siena dan Florence,Itali. Duduk di sebuah bangku besi pada sebuah peron tanpa atap, hanya ada seorang wanita umur tigapuluh tahunan dengan kereta bayi kosong di sampingnya. Ia membawa sebotol minuman, mungkin bir, sambil merokok. Ia memandang ke arahku cukup lama, mungkin curiga atau cemas aku akan merampoknya.Ia memakai kaos tanpa lengan dengan jins kumal, dan beberapa piercing di hidungnya, terlihat dari kilauan logam di wajahnya. Aku mendekatinya hendak menanyakan apakah ada stasiun bis terdekat menuju Florence, namun ia buru-buru pergi. Memang pada dasarnya saya tak berbakat mendekati wanita.

Membuka googlemap, dan seharusnya turun di stasiun berikutnya, lima kilometer dari sini. Dalam remang-remang berusaha membaca tulisan nama stasiun di peron : Ponte a Elsa. Tak ada seorang pun disini, orang kedua terakhir adalah wanita dengan kereta bayi dan sebotol bir. Tidak ada satu pun petugas, kendaraan terparkir, bahkan sekedar atap. Penasaran bagaimana penumpang menunggu kereta di saat hujan, mungkin seperti totoro membawa payung menunggu bis kucing datang. Tapi suasana sepi disini benar-benar mengingatkan halte bis totoro.
Bangunan terdekat di sekitar adalah kompleks pergudangan dan pabrik, selebihnya kebun anggur dan hutan, tak akan ada hostel disini, lagipula, seorang teman menunggu di Florence esok pagi untuk mengantri museum Uffizi. Harus kembali malam ini.

Aku putuskan untuk berjalan kaki sesuai rekomendasi googlemap. fyi, durasi waktu berjalan kaki dalam googlemap sesungguhnya adalah jika kita berlari,non-stop, jika kita hanya berjalan maka cukup dikalikan dua. Melihat durasi waktu menuju stasiun besar terdekat adalah satu jam, tidak ada petunjuk untuk transportasi publik. Di kota-kota kecil,bis berhenti beroperasi jam sembilan malam. Jika berlari selama satu jam,akan sampai di Empoli,stasiun terdekat, itu lelucon, karena baru kusadari arahan rute berjalan dari googlemap melewati jalan-jalan sempit berbatu dan gelap tanpa lampu jalan. Dengan kata lain, akan menembus bukit-bukit anggur tanpa penduduk, selama satu jam (jika berlari) atau dua jam (berjalan normal).Mempertimbangkan berlari karena barangkali masih bisa mengejar kereta terakhir dari stasiun Empoli. Whatever, mulailah berjalan untuk menghemat waktu.

Setelah menit ke sepuluh, mendapati jalan setapak terblokir oleh proyek pembuatan jalan, entah karena longsor atau proyek perkerasan, tak ada satu pun penerangan. Jalan semakin menyempit dan insting berkata ini tak aman. Ini akan menjadi malam panjang...aku kembali ke stasiun kecil Ponte a Elsa.

Berdiam selama tiga menit dan sebatang rokok memberi ide cukup jitu: berjalan menyusuri rel kereta hingga ke stasiun berikutnya. Rel kereta terdiri dari dua jalur, berlawanan arah, seingatku, Eropa memakai jalur kanan, sehingga jika berjalan di jalur rel kiri, akan mengetahui jika kereta datang di depan. Jika membelakangi kereta,itu lebih berbahaya, mengingat aku suka melamun saat berjalan. Lampu kereta tak akan terlihat. Lagipula, cahaya merambat lebih cepat daripada suara, logikanya, lampu kereta akan terlihat, baru suara 'jugijagijugijagijug'...

 Dan mulailah  berjalan menyusuri rel di jalur kiri. Bersyukur memakai sepatu yang tepat, sebenarnya itu sepatu gunung, namun selalu dipakai saat traveling, menembus segala medan. Sambil menertawakan diri sendiri yang dengan bodohnya turun di stasiun yang salah, harusnya malam ini bisa tidur dengan nyenyak di kereta. Tapi kita memang harus selalu siap menghadapai situasi tak terduga. Teringat setahun lalu, menuntun motor dengan ban bocor  pukul tiga pagi dari Menteng sampai Mampang karena ada tambal ban 24jam, entah kenapa malam ini perasaannya sama, hanya lain benua.
 Tiba-tiba rel bergetar, pertanda kereta datang. Aku melihat ke depan, tidak ada cahaya, dan ternyata kereta datang dari belakang, dengan cahaya LED warna merah yang redup. ..wtf. Aku melompat ke tepi,ke semak-semak rimbun dengan biji-biji rumput berduri. Ternyata jalur mobil di kanan tak berlaku untuk kereta. noted
Kereta ini melaju cepat, tipe Frecciarossa, kereta cepat warna merah yang hanya berhenti di kota-kota besar. Aku memutuskan untuk tidak berjalan di rel kereta. Ternyata suara kereta disini lebih halus, bukan 'jugijagijug' , tapi memang karena kereta cepat memiliki suara yang lebih halus. noted

Akhirnya memutuskan memotong jalur melewati sawah yang baru tumbuh, entah gandum, anggur,jagung,atau tomat,whatever, sangat gelap hingga tak terlihat. Maaf telah menginjaknya. Terima kasih sekali lagi untuk googlemap, ada alternatif jalan raya. Aku akan menyusuri jalan raya sepanjang lima kilometer dengan berjalan kaki. Sebatang rokok kurang jitu untuk mendapatkan ide solusi. Mungkin butuh dua.

(2)
Akhirnya sampai di jalan raya setelah memotong sawah atau kebun selama lima belas menit, dan jalan ini tanpa jalur pejalan kaki, hingga harus berjalan di paling tepi agar tak tersambar mobil dan truk. Aku melihat ke atas langit  untuk meregangkan leher, oh di musim panas, bintang terlihat sangat terang, sedikit menghiburku. Aku merogoh tas, ternyata air di botol hampir habis, harus berjalan santai untuk menghemat energi. Bagiku ini sebuah situasi yang tidak perlu dicemaskan. Ada situasi-situasi lebih buruk yang pernah kualami, seperti kehabisan air minum saat perjalanan turun dari puncak gunung Rinjani di siang yang terik hingga kulit muka terbakar. Di Rinjani, sempat mengumpulkan air dari tetesan embun yang menempel di rumput. Atau hampir hipotermia karena lupa mengganti baju yang basah oleh keringat saat mendaki gunung Lawu di malam hari. Menyusuri jalan raya di antah-berantah Itali bisa jadi menyenangkan, saya percaya Tuhan maha humoris, dan ini cara dia bercanda dengan situasi.

Setelah setengah jam berjalan,kuputuskan untuk melambaikan tangan pada mobil yang lewat, mungkin searah menuju stasiun besar terdekat. Di saat-saat darurat, kita menjadi lebih berani. Tak ada yang berhenti, namun ada seorang bapak beretnis Cina mengayuh sepeda di malam hari di tepi jalan, hebat,malam-malam berolah raga. Aku hendak menyapanya,mungkin bisa membonceng sepedanya sampai Empoli,aku yang mengayuh pun tak apa-apa, meski bapak itu terlihat gendut..Istilah jepangnya, 'futari nori no jitensha' versi bromance. tapi ia  mengencangkan laju sepeda..hilang ditelan gelap. Tak berselang lama aku juga berpapasan dengan seorang nenek tua yang berjalan sangat pelan sambil menunduk, di tepi jalan raya, mungkin ia tidak bisa tidur. Kakinya masih menapak tanah, aku tidak perlu khawatir. (ciri-ciri ada makhluk astral didekat kita : merinding, bau busuk, bau wangi, atau suara panggilan. sumber : folklore) 

Akhirnya sebuah sedan tua Fiat menepi setelah berapa lama, seorang bapak tua mengemudi sendirian. Ia menyapa dalam bahasa Itali.

"Dove stai andando?"
"Buonaserra,grazie,, parla inglese?"
"Si, just a little.."
"Empoli station, I have to catch the last train"
"come in.."

Bapak tadi mengantarku hingga sampai  Empoli. Percakapan basa-basi di dalam mobil, karena bahasa inggrisnya terbatas, dan bahasa itali saya menyedihkan.

"Maybe, the last train just departed, you have to wait until tomorrow morning." 
"It's ok, I can sleep at the station. I already booked a hostel in Florence actually."

Bapak tadi hanya mengantarku sampai pusat Empoli, karena ia harus berbelok ke arah lain. Aku bahkan tak menanyakan namanya.
Tiba di Empoli, aku masih harus berjalan satu kilometer menuju stasiun, tapi jauh lebih baik, ada rumah , lampu jalan, dan trotoar. Sebuah musik EDM (electronic dance music) terdengar di sebuah rumah. Hari ini Sabtu malam, mungkin mereka sedang berpesta di rumah. Aku terus berjalan hingga musik tadi berangsur menghilang, Empoli adalah kota yang sepi, seperti kota-kota kecil lain di Itali. Atau mungkin di siang hari ia lebih ramai.

(3)
Melihat sepatuku dan ujung celana jins, tertempel biji rumput-rumput  liar dari rel kereta tadi, Aku membuka sebotol air mineral pemberian bapak tua pengemudi Fiat dan melanjutkan berjalan, tapi dengan perasaan yang jauh lebih santai. Pukul 23:30, akhirnya sampai di stasiun, dan ternyata masih ada kereta terakhir menuju Florence, karena ada keterlambatan 45menit. Terimakasih, delay.

Akhirnya aku duduk di sebuah bangku besi pada sebuah peron, kali ini dengan atap dan lampu terang, membeli machiato instan di mesin kopi dan menyalakan rokok batang kedua malam ini. This made my day.

sambil mengeluarkan kamera, melihat potret-potret Siena siang tadi.
...





ps : dini hari sesampai Florence







Milan, musim panas 2015.

Komentar

Postingan Populer