jurnal paris (part1)

Tiket kereta di tangan dan saya berlari mengejar kereta yang akan berangkat 7 menit lagi, Milan - Paris. Hari itu adalah liburan musim panas, dimana selama sebulan penuh aktifitas kampus dan kantor diliburkan. Saya sendirian menuju Paris, sebuah kota yang menurut saya 'overrated', meski ini pertama kali saya akan mengunjunginya (dua bulan kemudian saya datang lagi ke sini). Namun, Paris secara sengaja maupun tidak , adalah salah satu titik balik saya, yang meyakinkan saya kemana tujuan hidup saya selanjutnya. Ini sebuah postingan blog yang mungkin akan terlalu personal, wtvr.

(1)
Daniel adalah seorang anak berusia sekitar 10 tahun, negro, dengan rambut ikal pendek, ia  pergi ke Paris dari Milan bersama ayah dan adiknya, mungkin sekitar 4 tahun. Kami berada dalam ruangan kabin yang sama dalam gerbong kereta, saya tak tahu istilahnya,,dan sedang malas googling. Jika ingat film Harry Potter dalam scene kereta menuju Hogwart,,nah seperti itulah bentuk ruangannya, atau scene kereta di film The Hotel Budapest nya Wes Anderson. nah
Ayah dan dan dua anak ini mungkin satu-satunya orang negro yang pernah saya ajak bicara cukup panjang. Ayahnya tidak bisa berbahasa inggris, namun anaknya cukup fasih sehingga setiap percakapan kami si anak menjadi translator  kami dari&ke bahasa Itali. Pria ini -yang saya lupa namanya-bercerita bahwa ia bercerai dengan istrinya, namun kedua anaknya berada dalam asuhannya, saya tidak menanyakan lebih lanjut. Dia bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah kantor, dan ini adalah waktu cutinya, ia membawa kedua anaknya ke rumah kerabat di Paris. Di sini saya melihat sosok kebapakan dalam dirinya yang terlihat 'garang' dari penampakannya. Bahkan saat pertama kali memasuki 'kabin (whtsoever)' kereta saya agak kawatir jika dia membuat perjalanan ini menjadi kurang nyaman. Namun pengalaman ini menghilangkan stigma/stereotip saya tentang negro.Kesimpulan saya: Seorang pria yang travelling bersama dua orang anaknya dengan kereta pastilah pria baik-baik. 

Daniel menanyakan apa pekerjaan saya, dan saya bercerita bahwa saya mahasiswa dan sedang liburan.Saat dia tahu saya sempat bekerja sebagai arsitek dia sangat tertarik dan menyuruh saya menggambar sebuah...stadion sepakbola. Yang saya gambar adalah sketsa kasar stadion GBK perspektif mata burung dengan menara Eiffel sebagai pengganti Monas. ntap. Adiknya melihat saya menggambar dan berkomentar dengan bahasa yang tidak saya pahami. Daniel menyelipkan sketsa saya dalam buku cerita anak-anak, mungkin milik adiknya. Mungkin ia tak paham apa yang saya gambar, tapi ia terlihat senang.

Kami tertidur dalam perjalanan, dan saat terbangun,hari sudah pagi dan kami melewati bukit bukit hijau dengan banyak domba dan tebing-tebing berbatu sebagai latarnya. Kami tidak saling bicara pagi itu.
Beberapa jam kemudian kami sampai Paris dan berpisah di stasiun Lyon.

Saya tiba di pagi hari, saat kafe baru ramai dengan orang-orang yang sedang sarapan dan toko-toko belum buka. Saya mencium bau roti dan kopi, namun enggan untuk masuk kesana, saya ingin merasakan kota ini di pagi hari, berjalan kaki dan menyeberang jembatan-jembatan diatas sungai Seine. Sembari menunggu jam check-in hostel saya menuju National Library yang didesain oleh Dominique Perault, dan menghabiskan beberapa jam disana dan sekitarnya.




(2)

Setelah mandi dan makan siang di hostel saya berkeiling menuju pusat kota. Hal yang cukup membuat saya 'fascinated' adalah...metro subwaynya,dengan map yang sangat -kacau namun menarik- dan stasiun metro yang sangat -Paris- entah bagaimana menggambarkannya. Kombinasi art deco dan industrial dan tulisan-tulisan di poster yang pengucapannya membuat dahi saya berkenyit. 
Saya bertemu banyak turis-turis asia, dengan pakaian dan sepatu 'up to da te', saya sendiri memakai sepatu gunung. Anaknya pecinta alam bangat. Saya datang ke paris tanpa persiapan,itinerary,bahkan peta. Alasan saya kemari karena saat itu Milan sangat panas, dan kata beberapa orang Paris tidak terlalu panas di waktu summer. Saya berniat ke negara-negara utara namun dompet saya bilang 'jangan'. Saya hanya mencari beberapa obyek yang direkomendasikan di -peta gratisan hostel- dan Archdaily.

Paris I'm in Love,,tapi tidak buat saya, yang mungkin juga sedang jatuh cinta (eits). Tapi, datang sendiri ke Paris dan melihat hampir semua yang ada di jalan berpasangan adalah seperti menonton film satir. "I hate couple, please get a room." 
Saya teringat masa kecil saat saya duduk sendirian saat teman-teman saya bermain lompat tali bersama di sekolah dasar, anak laki-laki dan perempuan, saya tidak bisa lompat tali, jadi cukup menonton dan sesekali terlihat..pakaian dalam anak perempuan, karena saya menonton sambil duduk,,itu tak disengaja. Tapi tiba-tiba saya teringat masa itu ketika melihat banyak pasangan melakukan PDA disini. Randomly.

Saya mengunjungi Pompidou Center yang didesain Richard Roger dan Renzo Piano. Saya duduk di depan plaza dan menyalakan sebatang rokok, saya hanya memandangi bangunan itu karena sedang tidak mood untuk masuk. Pompidou Center adalah sebuah mesin, dengan estetika mesin, sebuah bangunan yang tidak bergender. Ia adalah bangunan yang netral, tanpa tendensi, anti klasik, dan menolak estetika vitruvius. Orang -orang berjemur di plaza dan Pompidou sebagai latarnya, terlihat beberapa orang memainkan alat musik, ada pula yang melakukan atraksi. Saya sendiri hanya mengamati sambil merokok di bawah matahari siang..yang tertutup awan. Lazy day.



Saya beranjak pergi, menuju destinasti selanjutnya, tiba-tiba seorang wanita, berumur 30-33 tahunan menghampiri saya dan meminjam korek api.
"are you from Indonesia,or philipine?" tanyanya sambil menebak.
"Malaysia " kata saya berbohong dan hendak berjalan,ia ikut berjalan.
"are you live here?"
...kemudian terjadilah percakapan basa-basi sambil kami berjalan menjauh dari Pompidou Centre.
" this place is a stage of anxiety and euphoria,look at those people, and Pompidou is the backstage of this bullshit." katanya. Saya hanya tersenyum.
"I'm from Indonesia actually" kata saya 
dia tertawa. " yea I knew it, I study Asia Literature,and I focus on Indonesian Literature," katanya.
saya cukup terkejut, ada seorang Parisian yang mempelajari sastra Indonesia. Lebih heran lagi kenapa bisa bertemu saya yang kebetulan Indonesian.
"where are you going?" tanyanya
" I don't know, maybe just around here,,hmm. Notre dame I think.." saya menjawab spontan.
" Can I go with you? I should meet my friend here but she just cancelled." tanyanya dengan nada santai.

Saya diam dan melihatnya sesaat, "sure..you will guide me then.." Saya pikir wanita ini cukup menyenangkan untuk diajak mengobrol, dan dia sedikit berbeda,,penampilannya seperti seniman bohemian yang cuek, rambut yang diikat karet gelang,sepatu tipe converse dengan motif sulam, dan 'nicotine patch' yang tertempel di pergelangan lengannya. " I cover my tattoo with this patch, I don't like it." katanya. Ia pernah datang ke Indonesia 10 tahun lalu, dan membuatnya tertarik dengan budaya dan sastra Indonesia, terutama novel-novel karya Pramoedya dan beberapa novel yang membahas peristiwa PKI. Ia memiliki buku-buku karya Hamka, saya cukup terkejut sekaligus penasaran.
Karena Notre dame sangat penuh kami hanya lewat di depannya dan berjalan menuju sungai Seine, sambil merokok kami menyusuri Seine dan saya banyak bertanya tentang Paris dan Parisian. Ia bercerita banyak tentang novel Indonesia, Lagu-lagu Indonesia lama tahun 70an, dan keadaan politik saat ini, juga tentang Paris,anxiety,dan banyaknya orang Paris yang depresi saat ini. Ia cukup fasih berbahasa Indonesia dengan logat khas bule. Kami sempat berhenti untuk beristirahat dan dia menunjukkan beberapa sketsanya di bukunya. Ia banyak menggambar figur-figur telanjang. Saat berpisah ia menuliskan nomor selulernya pada peta saya. Ia tidak punya akun media sosial satu pun, dan handphonenya pun masih tipe Nokia qwerty.

"call me tomorrow, mumpung di Paris, I will show you interesting places,not tourist destination"
" and I like your cigarette, 'A Mild' you said?" 
saya tak menjawab saat itu,hanya mengangguk tersenyum sopan. Ia pamit pergi dan saya melanjutkan berjalan sambil melihat peta..menyusuri Paris di malam hari.
Pertemuan ini salah satu hal paling absurd dan humor dalam pengalaman saya travelling. Nantinya, banyak hal yang saya pelajari darinya,sekaligus refleksi bagi saya, selama dua bulan setelahnya...

Jika Woody Allen berkata bahwa life is miserable,bagi saya life is a humour, and God is the biggest comedian. 
Kun fa ya kun.

(bersambung)




Postingan Populer